Bangunan klasik, tak banyak berubah sejak didirikan, entah siapa pendiri bangunan tersebut, tidak ada yang tahu pasti. Pastinya juga tidak akan terbayang pada awal pembangunannya, jika bangunan tersebut sekarang berfungsi sebagai bangunan sosial, lebih tepatnya tempat ibadah, yang banyak digunakan untuk aktivitas peningkatan spiritual masyarakat khususnya umat Buddha.
Di mungkinkan, bangunan induk Vihara tersebut dibangun pada masa pendudukan Belanda. Oleh pemiliknya, bangunan tersebut difungsikan sebagai kandang sapi perah, sapi yang menghasilkan susu segar. Pada masa tersebut, daerah tersebut belum merupakan perkampungan, tapi masih merupakan lahan yang sangat luas, yang merupakan areal perkebunan tebu, komoditas primadona
Dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia, lahan tersebut akhirnya dimiliki oleh Romo Among Pradjarto, seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani, yang dikenal memiliki pengetahuan yang winasis.
Adalah Bhikkhu Jinaputta, yang berperan penting dalam alih fungsi Kandang sapi tersebut menjadi tempat ibadah. Pada tahun 1958 Bhante (panggilan kepada Bhikkhu) Jinaputa berkenan menjalankan Vassa di Yogyakarta. Beliau kemudian tinggal di Cetiya Buddha Kirti, Milik Bapak Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo), sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha yang ada di
Atas saran dan hasil diskusi antara Bapak Tjan Tjoen Gie dan Romo Among Pradjarto, yang memang merupakan teman baik dalam diskusi-diskusi spiritual, Bhikkhu Jinaputta di tempatkan di bekas kandang sapi kepunyaan Romo Among Pradjarto.
Bekas Kandang sapi kemudian di bersihkan, dan jadilah bekas kandang tersebut menjadi tempat vassa bagi Bhante jinaputa. Selama Bhante Jinaputa tinggal di tempat tersebut, maka dimulailah beberapa diskusi seputar agama Buddha. Karena kebanyakan yang datang adalah orang-orang memang mempunyai latar belakang theosofi, kejawen dan ajaran-ajaran kebatinan yang lain, maka tidaklah sulit untuk berdiskusi tentang ajaran tersebut.
Sejak itu, dimulai dari beberapa orang, mulai dikenallah Buddha Dhamma. Atas persetujuan dari pemilik rumah, Romo Among, maka kegiatan keagamaan pun mulai diadakan. Bersamaan dengan itu, delapan orang, yaitu Romo Among Pardjarto, Bpk. Drs Soeharto Djoyosoempeno, Bpk Tjan Tjoen Gie, Bpk Djoeri Soekisno, Bpk Kho Tjie Hong, Bpk Tan Hok Lay, dan Bpk Krismanto, membentuk kesepakatan untuk bersama-sama mengembangkan Buddha Dhamma. Kemampuan beliau berdelapan dalam mengabdi untuk Buddha Dhamma serta semangat yag tak kenal lelah telah melahirkan banyak kemajuan. Merekalah yang kemudian di kenal dengan “Djoyo 8” (Joyo Wolu).
Aktivitas di tempat tersebut kemudian sudah benar-benar merupakan aktivitas Vihara. Sudah tidak dikenal lagi sebagai kandang ternak. Kegiatan rutin berupa Puja Bakti setiap Rabu malam, serta Purnomosidhen (setiap bulan Purnama) dilakukan. Kegiatan tersebut tentu saja membutuhkan tempat yang lebih luas. Maka dibuatlah tempat tersebut menjadi lebih pantas, dilengkapi dengan pagar dan gapura. Tahun 1962, dinyatakan secara resmi menjadi lahirnya Vihara Buddha Karangdjati, meskipun aktivitasnya sudah dimulai sebalum tahun tersebut.
Karena semakin banykanya umat yang datang, serta perlunya penataan secara lebih tertib, maka kemudian dibetuklah sekretariat Vihara Karangdjati. Sebagai sekretaris yang pertama adalah Bpk Eko Legowo. Sekarang lebih dikenal sebagai Dr.Ir. Eko Legowo Msc. Pengajar di Universitas Brawijaya
Termasuk juga, Vihara ini pernah di daulat untuk menjadi tim pelaksana penyambutan kehadiran Bhikkhu Narada Mahathera, atau lebih dikenal dengan Bhante Narada, seorang tokoh Buddhis yang cukup dikenal di Dunia, berasal dari Sri Langka. Beliau datang ke
Dalam berbagai kesempatan, umat dari Vihara Karangdjati juga terlibat aktif dalam keorganisasian Buddhis secara nasional, termasuk menjadi pelaksana Musyawarah nasional umat Buddha pada tahun 1961 yang dihadiri delegasi dari berbagai kota dan propinsi di Indonesia. Tahun 1969 dibentuk juga Organisasi Wanita Buddhis bernama Perkumpulan Wanita Buddha Jogjakata, yang saat itu diketuai oleh Ibu Ratna Dewi Suprapto.
Kegiatan terus berkembang, pada tahun 1974 Vihara Karangdjati bahkan sanggup menerbitkan Buletin yang dikenal dengan nama Darma Caraka. Di tahun tersebut, generasi yang lebh muda seperti Bapak Djoko Wintolo, Sekarang Ir Djoko Wintolo, pengajar di Fakultas Teknik UGM, sudah mulai berkiprah untuk mengantikan generasi senelumnya. Pada saat itu, sering juga dilakukan latihan Yoga bagi yang berminat.
Tahun 1960an-1970an, Vihara Karangdjati juga aktif meberikan pembinaan ke daerah lain, terutama di Temanggung. Dari Vihara inilah banyak dikirim dhammaduta-dhammaduta yang dipimpin oleh romo Among Pradjarto untuk memgajarkan Buddha Dhamma. Jangan kaget, kalau sampai sekarang, daerah seperti Kaloran, Kandangan, Jumo, Parakan, Candiroto di kabupaten Temanggung, merupakan daerah-daerah yang pemeluk Buddhanya banyak, bahkan bisa dikatakan basis umat Buddha.
Tercatat juga, Vihara Karangdjati adalah pioner dalam pendidikan agama Buddha di sekolah formal. Di mulai dari Bpk Parto, Ibu Kuntarti, Ibu Savitri, Bpk Kusman, Bpk Supriyanto dan Bpk hartono, adalah guru-guru yang mengajar disekolah formal, dari SD hingga SMA di Bhineka (jln. Kranggan). Dari sinilah Departemen Pendidikan kemudian mengangkat guru negeri. Ibu Kuntarti ditempatkan di Gunung Kidul, Bapak Supriyanto di Kulon Progo. Sekarang dari hasil pengajaran beliau, telah banyak guru-guru agama Buddha generasi di sekolah formal.
Dari Karangdjati juga, siaran mimbar agama Buddha di RRI maupun TVRI di buat. Bpk Supono Sudarmadi S.H misalnya, merupakan pengisi ceramah di TVRI pada tanggal 23 Nopember 1969, bergantian dengan pembicara yang lain. Kunjungan baik dari dalam maupun luar negeri juga masih sering datang, termasuk Acarya Dyaneasya B.Rc dari Calcuta
Sebelum tahun 1980an, lingkungan sekitar Vihara masih pedesan, belum banyak kampung seperti sekarang. Lampu yang digunakan adalah lampu Petromaks. Jika malam, musik malam berupa hembusan angin, gemericik air, suara burung malam dan kodok di persawahan masih nyaring terdengar.
Di tahun 1980an, tokoh penting yang menjadi penggerak Vihara mulai menginjak usia tua, bahkan sudah mulai meninggal, termasuk tokoh-tokoh dalam Djoyo 8. puncaknya adalah meningglanya Romo Among Pradjarto, pemilik bangunan dan pemuka utama dari Vihara ini, pada tahun 1992.
Vihara kemudian memasuki masa sulit. Pertengahan 1990an adalah masa tersulit, ketika Vihara sudah kehilangan tokoh panutan utama. Di sisi lain, regenerasi tidak berjalan maksimal, karena anak-anak dan remaja tidak mendapat pendidikan agama Buddha secara formal di sekolah. Kegiatan Vihara hampir dapat dikatakan sekedar untuk bertahan hidup.
Barulah kemudian, dimulai tahun 1998, di dukung oleh bapak Supriyanto, Bapak Soetrisno dkk, Vihara mulai berbenah kembali. Kegiatan mulai dihidupkan, tidak sekedar kegiatan rutin, namun juga kegiatan yang lain. Bangunan fisik juga mulai dibenahi, untuk dapat mendukung kegiatan yang sesuai dengan konteks kekinian.
Bimbingan Dhamma dari para Bhikkhu, terutama dari Vihara Mendut, mulai dilakukan. Bimbingan tersebut bisa diadadakan berupa diskusi, Dhammaclas atau seminar, tergantung kebutuhan. Bhikkhu-Bhikkhu dari luar negeri juga banyak yang datang, seperti Bhante Dhammika Mahathera dari
Selain Puja bakti, meditasi rutin setiap Jumat juga dilakukan, Perayaan hari besar agama Buddha dilakukan lebih semarak. Perayaan yang lain, seperti tahun baru, kemerdekaan RI juga dilakukan dengan berbagai varisai kegiatan. Anak anak difasilitasi melalui sekolah minggu, remaja dan pemuda juga diwadahi dalam kegiatan kepumudaan, menambah semarak kegiatan vihara. Kepercayaan yang sempat hilang, mulai didapatkan kembali. Umat dari Vihara Karangdjati aktif dalam kepanitiaan Waisak nasional Borobudur 2006, Puja Bakti Agung Asadha 2006 di Candi mendut, Tim Karuna Yogyakarta yang menangani penyaluran bantuan untuk gempa Yogya 27 mei. Bahkan, Desember 2003, Vihara Karangdjati merupakan markas panitia World Buddhis Sangha Concil Executife Conference, yang diadakan di
Itulah secara singkat perjalanan bangunan yang sekarang dikenal dengan Vihara Karangdjati. Berbagai kegiatan yang berupa pelayanan keagamaan, pelayanan sosial kemasyarakatan, pendidikan dan fungsi yang lain dilakukan di Vihara tersebut, baik dalam skala kecil maupun intensional. Sungguh tidak terduga, jika hal itu bermula dari sebuah kandang sapi. Dari kandang sapi menuju Kiprah Dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar