Rabu, 27 Agustus 2008

Karangdjati Temple : A Buddhist Heritage in Jogja

Kesusu selak apa; alon-alon ngenteni sapa (tergesa-gesa keburu apa; pelan-pelan menunggu siapa) -- filosofi Jalan Tengah a la Vihara Karangdjati.

Pertengahan 1980-an. Dengan mengayuh sepeda, aku kadang melintasi Dusun Karangjati, beberapa kilometer di sebelah utara perempatan Tugu, Jogjakarta. Di dusun itu terdapat sebuah vihara kecil, di antara petak-petak sawah dan pepohonan hijau, juga lambaian nyiur pohon-pohon kelapa. Berhenti di pinggir jalan aspal, mataku senantiasa terpaku ke arah bangunan sederhana itu. Begitu misterius! Rasanya seperti di tarik melintasi sebuah lorong waktu: lamunanku melayang ke sebuah dusun terpencil di pinggir hutan di pedalaman Asia Selatan. Begitulah imajinasi yang dipicu oleh lanskap Dusun Karangjati dengan bangunan viharanya yang sunyi.

Pada suatu hari pernah pula kulihat dari kejauhan beberapa orang lelaki tengah bekerja bakti mencari batu-batuan dan pasir dari sebuah sungai, kira-kira 300 m di sebelah barat vihara. Penduduk setempat menyebutnya dengan nama Kali Popongan (barangkali berasal dari kata bopong + akhiran -an dalam bahasa Jawa). Mereka tampak bekerja bersama-sama dengan riang-gembira, membangun pagar keliling dan gapura vihara. Hanya berlangsung beberapa kejap, penglihatan itu pun hilang-baur. Tinggallah diriku sendiri di atas sepeda memandang vihara di kejauhan dengan hamparan sawah dan pohon-pohon kelapanya.

Entah siapa pendiri pertama bangunan Vihara Karangdjati. Bangunan induk mungkin sudah berdiri pada masa penjajahan Belanda dan sang pemilik menggunakannya untuk kandang sapi perah. Pada masa itu area Karangjati masih merupakan lahan perkebunan tebu yang sangat luas, belum merupakan perkampungan padat seperti sekarang. Dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke tangan Republik, lahan tersebut akhirnya menjadi milik Romo Among (sapaan akrab untuk Romo Pandita Syaila Indra Among Pradjarto).

Bhikkhu Jinaputta berperan penting dalam alih-fungsi kandang sapi tersebut menjadi sebuah vihara. Mulanya, 1958, Bhante Jinaputta menjalankan vassa di Jogjakarta. Beliau tinggal di Cetiya Buddha Khirti, milik Bapak Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo) di Kampung Sajidan sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha di Jogjakarta pada waktu itu. Atas kesepakatan di antara Pak Tjan dan Romo Among, Bhante Jinaputta lalu ditempatkan di bekas kandang sapi kepunyaan Romo Among. Bekas kandang ini pun dibersihkan hingga layak menjadi tempat vassa bagi Bhante Jinaputta.

Sejak itulah, atas persetujuan Romo Among, kegiatan-kegiatan keagamaan mulai dilaksanakan di bangunan bekas kandang sapi tadi. Delapan orang tokoh, dikenal dengan sebutan Djojo 8 (baca: joyo wolu), berperan penting di sini. Selain Romo Among dan Bapak Tjan Tjoen Gie, mereka adalah Bapak Soeharto Djojosoempeno, Bapak Djoeri Soekisno, Bapak Kho Tjie Hong, Bapak Tan Hok Lay, Bapak Moesihardjono, dan Bapak Krismanto. Karena kegiatan vihara mulai membutuhkan tempat yang lebih luas, maka didirikanlah pagar keliling dan gapura sehingga tahun 1962 akhirnya dinyatakan sebagai tahun lahirnya Vihara Karangdjati secara resmi. Pada 1980-an tokoh-tokoh penting penggerak vihara mulai menginjak usia tua, bahkan sudah meninggal, termasuk para tokoh Djojo 8. Puncaknya adalah wafatnya Romo Among pada 1993. Vihara Karangdjati pun memasuki sebuah periode sulit. Aktivitas vihara menukik drastis sampai dengan titik terendah.

Baru semenjak 1998 Vihara Karangdjati mulai menggeliat kembali. Bangunan fisik yang renta itu mulai berbenah. Renovasi ruang pertemuan dan pavingisasi dilakukan pada 2001; kemudian menyusul renovasi altar pada 2004 dan pemasangan kanopi pada 2005. Akibat gempa, pagar barat yang runtuh pun harus direnovasi pada 2006 yang lalu. Titik kulminasinya adalah Perayaan Kathina 2550/2006. Bersaman dengan perayaan ini, babak baru pun dibuka, tonggak sejarah vihara ditancapkan. Kamis, 20 November 2006, hibah tanah vihara dilakukan dari keluarga Almarhum Romo Among kepada Sangha Teravada Indonesia.

Sebelum berdiri vihara-vihara lain di Jogjakarta, Vihara Karangdjati adalah vihara yang pertama. Vihara ini, tak pelak lagi, adalah sebuah heritase budaya (cultural heritage) yang penting bagi umat Buddha di Jogjakarta pada khususnya serta siapa saja pada umumnya yang ikut peduli dan merasa memiliki.

NB :
Tulisan ini di tulis oleh Bpk Kris Budiman, seorang Seniman dan Dosen Ilmu Sosial di Yogyakarta. dan sudah dipublikasikan di Blog beliau juga.

Tidak ada komentar: