Jumat, 29 Agustus 2008

Pertandingan Bulutangkis Persahabatan

Hari Kamis malam tanggal 28 Agustus 2008, dimulai jam 19.00 WIB, di Lapangan Bulutangkis Vihara Karangdjati, diadakan pertandingan Bulutangkis persahabatan antara Klub Bulutangkis Vihara Karangdjati, dengan Klub Bulutangkis Mranggen. Klub Bulutangkis Vihara Karangdjati adalah umat dan simpatisan yang sering berlatih bulutangkis bersama di lapangan Bulutangkis Vihara Karangdjati, sedangkan Klub Bulutangkis Mranggen adalah pemuda dan warga dari kampung mranggen yang sering berlatih Bulutangkis bersama di lapangan Bulutangkis kampung Mranggen.

Tujuan dari pertandingan perahabatan ini adalah untuk menjalin persaudaraan yang lebih erat antaar warga Vihara dengan warga di kampung Mranggen, kampung yang hanya terletak di sebelah barat Vihara Karangdjati.

Acara pertandingan diawali dengan perkenalan yang dipimpin oleh Bapak Supriyanto selaku Ketua Vihara Karangdjati, breefing teknis pertandingan, dan undian tim. Pertandingan itu mempertandingkan 6 pertandingan, yang semuanya pertandingan nomor Ganda. Dengan demikian setiap tim mempersiapkan 6 pasang tim. Hasil pertandingan, Tim Vihara Karangdjati menang 4 kali sedangkan tim Mranggen menang 2 kali.

Bukan menang kalah yang dicari, tetapi sebagaimana tujuan pertandingan tersebut, maka menambah teman dan sahabat baru, itulah yang diharapkan.

Rabu, 27 Agustus 2008

Karangdjati Temple : A Buddhist Heritage in Jogja

Kesusu selak apa; alon-alon ngenteni sapa (tergesa-gesa keburu apa; pelan-pelan menunggu siapa) -- filosofi Jalan Tengah a la Vihara Karangdjati.

Pertengahan 1980-an. Dengan mengayuh sepeda, aku kadang melintasi Dusun Karangjati, beberapa kilometer di sebelah utara perempatan Tugu, Jogjakarta. Di dusun itu terdapat sebuah vihara kecil, di antara petak-petak sawah dan pepohonan hijau, juga lambaian nyiur pohon-pohon kelapa. Berhenti di pinggir jalan aspal, mataku senantiasa terpaku ke arah bangunan sederhana itu. Begitu misterius! Rasanya seperti di tarik melintasi sebuah lorong waktu: lamunanku melayang ke sebuah dusun terpencil di pinggir hutan di pedalaman Asia Selatan. Begitulah imajinasi yang dipicu oleh lanskap Dusun Karangjati dengan bangunan viharanya yang sunyi.

Pada suatu hari pernah pula kulihat dari kejauhan beberapa orang lelaki tengah bekerja bakti mencari batu-batuan dan pasir dari sebuah sungai, kira-kira 300 m di sebelah barat vihara. Penduduk setempat menyebutnya dengan nama Kali Popongan (barangkali berasal dari kata bopong + akhiran -an dalam bahasa Jawa). Mereka tampak bekerja bersama-sama dengan riang-gembira, membangun pagar keliling dan gapura vihara. Hanya berlangsung beberapa kejap, penglihatan itu pun hilang-baur. Tinggallah diriku sendiri di atas sepeda memandang vihara di kejauhan dengan hamparan sawah dan pohon-pohon kelapanya.

Entah siapa pendiri pertama bangunan Vihara Karangdjati. Bangunan induk mungkin sudah berdiri pada masa penjajahan Belanda dan sang pemilik menggunakannya untuk kandang sapi perah. Pada masa itu area Karangjati masih merupakan lahan perkebunan tebu yang sangat luas, belum merupakan perkampungan padat seperti sekarang. Dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke tangan Republik, lahan tersebut akhirnya menjadi milik Romo Among (sapaan akrab untuk Romo Pandita Syaila Indra Among Pradjarto).

Bhikkhu Jinaputta berperan penting dalam alih-fungsi kandang sapi tersebut menjadi sebuah vihara. Mulanya, 1958, Bhante Jinaputta menjalankan vassa di Jogjakarta. Beliau tinggal di Cetiya Buddha Khirti, milik Bapak Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo) di Kampung Sajidan sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha di Jogjakarta pada waktu itu. Atas kesepakatan di antara Pak Tjan dan Romo Among, Bhante Jinaputta lalu ditempatkan di bekas kandang sapi kepunyaan Romo Among. Bekas kandang ini pun dibersihkan hingga layak menjadi tempat vassa bagi Bhante Jinaputta.

Sejak itulah, atas persetujuan Romo Among, kegiatan-kegiatan keagamaan mulai dilaksanakan di bangunan bekas kandang sapi tadi. Delapan orang tokoh, dikenal dengan sebutan Djojo 8 (baca: joyo wolu), berperan penting di sini. Selain Romo Among dan Bapak Tjan Tjoen Gie, mereka adalah Bapak Soeharto Djojosoempeno, Bapak Djoeri Soekisno, Bapak Kho Tjie Hong, Bapak Tan Hok Lay, Bapak Moesihardjono, dan Bapak Krismanto. Karena kegiatan vihara mulai membutuhkan tempat yang lebih luas, maka didirikanlah pagar keliling dan gapura sehingga tahun 1962 akhirnya dinyatakan sebagai tahun lahirnya Vihara Karangdjati secara resmi. Pada 1980-an tokoh-tokoh penting penggerak vihara mulai menginjak usia tua, bahkan sudah meninggal, termasuk para tokoh Djojo 8. Puncaknya adalah wafatnya Romo Among pada 1993. Vihara Karangdjati pun memasuki sebuah periode sulit. Aktivitas vihara menukik drastis sampai dengan titik terendah.

Baru semenjak 1998 Vihara Karangdjati mulai menggeliat kembali. Bangunan fisik yang renta itu mulai berbenah. Renovasi ruang pertemuan dan pavingisasi dilakukan pada 2001; kemudian menyusul renovasi altar pada 2004 dan pemasangan kanopi pada 2005. Akibat gempa, pagar barat yang runtuh pun harus direnovasi pada 2006 yang lalu. Titik kulminasinya adalah Perayaan Kathina 2550/2006. Bersaman dengan perayaan ini, babak baru pun dibuka, tonggak sejarah vihara ditancapkan. Kamis, 20 November 2006, hibah tanah vihara dilakukan dari keluarga Almarhum Romo Among kepada Sangha Teravada Indonesia.

Sebelum berdiri vihara-vihara lain di Jogjakarta, Vihara Karangdjati adalah vihara yang pertama. Vihara ini, tak pelak lagi, adalah sebuah heritase budaya (cultural heritage) yang penting bagi umat Buddha di Jogjakarta pada khususnya serta siapa saja pada umumnya yang ikut peduli dan merasa memiliki.

NB :
Tulisan ini di tulis oleh Bpk Kris Budiman, seorang Seniman dan Dosen Ilmu Sosial di Yogyakarta. dan sudah dipublikasikan di Blog beliau juga.

Selasa, 26 Agustus 2008

Semarak Tujuhbelasan di Vihara Karangdjati

Menyambut peringatan HUT RI ke-63, Vihara Karangdjati yang diprakarsai oleh generasi muda yang tergabung dalam DPC Patria Kota Yogyakarta, mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk meramaikan HUT RI sekaligus sebagai ajang menumbuhkan persahabatan dan keakraban.

Kegiatan yang diadakan adalah lomba-lomba seperti balap karung, makan kerupuk dan balap kelereng. Sedangkan kompetisi yang agak resmi adalah pertandingan Bulutangkis dan lomba Masak Nasi Goreng. Perlombaan dan pertandingan ini diikuti oleh perwakilan dari berbagai Vihara dan Kamadhis (keluarga Mahasiswa Buddhis) berbagai kampus di Yogyakarta.

Tampil sebagai juara Lomba masak adalah keluarga Bpk Soetrisno, keluarga Ibu Ira, dan Vidyasena Vihara Vidyaloka, sedangkan juara Bulutangkis adalah Pasangan Anton/Rudi dari Kamadhis UGM sebagai juara satu, dan pasangan Lucky/Rudi dari Universitas Atmajaya sebagai juara 2.

Perlombaan dan pertandingan berlangsung dalam suasana meriah, dan menonjolkan sikap persahabatan daripada sekedar mencari gelar juara. Yang terpenting adalah bisa gembira bersama sesaat, menambah teman baru dalam perayaan kemerdekaan ini.

Berikut Pic2 dari semarak kemerdekan di Vihara Karangdjati :

pelan-pelan...!! kelerengnya jatuh lho..

Ops, susahnya, biar kerupuknya enak dikasih kecap dulu kali..

ayoo cepat, ntar karungnya kabur...

suasana lomba masak nasi goreng


Pemberian hadiah untuk pemenang Lomba Bulutangkis

Dhammaclas masa Vassa sesion 1

Begitu masa vassa bagi para Bhikkhu dimulai, maka sudah menjadi agenda rutin bagi Bhikkhu2 yang menjalani masa Vassa di Vihara Mendut untuk mengintesifkan khotbah Dhamma kepada para umat disekitarnya, termasuk juga umat yang berada di Yogyakarta.

Dalam masa Vassa tahun ini, Vihara Karangdjati mendapatkan jadwal tiga kali, yaitu pada tanggal 23 Agustus, 6 September dan 20 September. Nah, pada kesempatan yang pertama tanggal 23 Agustus kemarin, hadir sebagai pengisi adalah YM. Bhante Sri Pannyavaro Mahathera.

Dalam khotbahnya, Bhante Pannya (panggilan akrab beliau) memberikan ulasan tentang pentingnya melatih untuk dapat "mengamati" gerak gerik pikiran kita, yang ditimbulkan baik oleh pengaruh lingkungan maupun kondisi fisik. Hal tu diperlukan agar kita mampu menjadi pemenang, tuan bagi diri kita sendiri.

Dhammaclas pada kespematan yang pertama ini dihadiri sekitar 75 Umat dari berbagai pelosok kota Yogyakarta, berlangsung selama dua jam dari jam 19.0-21-00 WIB. Ditunggu kehadiran umat pada Dhammaclas masa Vassa 2008 yang kedua, tanggal 6 September yang akan datang.

Puja Bhakti Asadha 2552

Puja Bakti perayaan Asadha 2552 tahun 2008 di Vihara Karangdjati diadakan pada hari Rabu tanggal 6 Agustus 2008. Perayaan kali ini diadakan secara sederhana tanpa mengurangi makna dan suasana khidmat.
Hadir dalam perayaan ini adalah Bhante Saccadhamo dan dua orang samanera dari Vihara Mendut, Magelang. serta puluhan umat dari Kota Yogyakarta. Puja Bakti sendiri dipimpin oleh Rm. Supriyanto dari Magabudhi DIY.

Dalam Khotbah Asadhanya, Bhante Saccadhamo memngingatkan kembali tentang peristiwa Asadha di Jaman Buddha gautama, dan tentang Khotbah pertamanya yang sangat fundamental, yaitu tentang Empat kesunyaatan Mulia, yang terdiri dari Kesunyataan tentang Dukkha, asal mula Dukkha, lenyapnya Dukkha dan jalan menuju lenyapnya Dukkha. Semoga saja kita senantiasa berada dijalan yang tepat untuk menuju lenyapnya Dukkha.

Asadha adalah hari besar memperingati peristiwa penting bagi umat Buddha, yaitu Khotbah pertama dari Sang Buddha Gautama, serta terbentuknya Sangha (pasamuan Bhikkhu) untuk pertama kalinya di jaman Sang Buddha Gautama.

Pelantikan DPC PATRIA Kota Yogyakarta

Hari Minggu, tanggal 3 Agustus 2008, di Vihara Karangdjati diadakan pelantikan Dewan Pengurus Cabang Pemuda Theravada Indonesia (Patria) Kota Yogyakarta. Pelantikan ini menandai aktifnya kembali DPC Patria Kota Yogyakarta setelah sempat tidak aktif sekian bulan.

Sebelum acara pelantikan terebut, telah diadakan Musyawarah Cabang Luar Biasa yang difasilitasi oleh DPD Patria Propinsi D.I. Yogyakarta pada tanggal 22 juli 2008. Hasil dari Muscablub tersebut, terpilih Sdr. Iwan Soetrisno sebagai ketua baru DPC Patria Kota Yogyakarta Periode 2008-2010.

Acara pelantikan difasilitasi oleh DPD PATRIA D.I.Yogyakarta, dihadiri oleh semua unsur Keluarga Besar Theravada Indonesia yang ada di DIY. Dari Sangha Threavada Indonesia hadir Bhikkhu Saccadhammo sebagai upa-padesanayaka (Bhikkhu pembina daerah) di DIY. Hadir Juga keluraga besar Pengurus Daerah Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (PD Magabudhi) DIY. Hadir Juga Pembina dan perwakilan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Patria, serta perwakilan kader-kader Patria se DIY.

Acara dibuka dengan Namakhara Patha yang di pimpin oleh Romo Pandita Magabudhi, kemudian dibacakan Berita Acara Muscablub dan Surat keputusan DPD Patria DIY tentang kepengurusan DPC Patria Kota Yogyakarta yang baru, oleh Sdr Agus Wartono sebagai Pimpinan Sidang Muscablub. Dilanjutkan dengan pembacaan janji setia kepengurusan dan pemakaian rompi Patria oleh pengurus DPC Patria Kota Yogyakarta, yang dipandu oleh Sdr. Tri Widiyanto, selaku ketua DPD Patria DIY.

Acara kemudian dilanjutkan dengan pesan moral oleh Sangha yang disampaikan oleh Bhikkhu Sacadhammo, dan pesan dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) Patria, yang diwakili oleh Sdr. Leony Simon, kabid Organisasi DPP Patria, serta dukungan moral dari PD Magabudhi DIY.

Berikut susunan pengurus DPC Patria Kota Yogyakarta 2008-2010 :

Ketua : Iwan Soetrisno
Sekreterais : Adhityawarman
Bendahara : Carolyne Mursito
Sie Pendidikan : Indra Gautama Widya
Sie Humas : Intan gadis Trisnawati
Sie Sosial : R. Olivia Hartono


Pelantikan ditutup dengan Namakhara Patha oleh Romo Pandita Magabudhi

Sejarah Vihara Karangdjati, Dari Kandang Sapi Menuju Kiprah Dunia

Bangunan klasik, tak banyak berubah sejak didirikan, entah siapa pendiri bangunan tersebut, tidak ada yang tahu pasti. Pastinya juga tidak akan terbayang pada awal pembangunannya, jika bangunan tersebut sekarang berfungsi sebagai bangunan sosial, lebih tepatnya tempat ibadah, yang banyak digunakan untuk aktivitas peningkatan spiritual masyarakat khususnya umat Buddha.

Di mungkinkan, bangunan induk Vihara tersebut dibangun pada masa pendudukan Belanda. Oleh pemiliknya, bangunan tersebut difungsikan sebagai kandang sapi perah, sapi yang menghasilkan susu segar. Pada masa tersebut, daerah tersebut belum merupakan perkampungan, tapi masih merupakan lahan yang sangat luas, yang merupakan areal perkebunan tebu, komoditas primadona Yogyakarta pada saat itu.

Dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia, lahan tersebut akhirnya dimiliki oleh Romo Among Pradjarto, seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani, yang dikenal memiliki pengetahuan yang winasis.

Adalah Bhikkhu Jinaputta, yang berperan penting dalam alih fungsi Kandang sapi tersebut menjadi tempat ibadah. Pada tahun 1958 Bhante (panggilan kepada Bhikkhu) Jinaputa berkenan menjalankan Vassa di Yogyakarta. Beliau kemudian tinggal di Cetiya Buddha Kirti, Milik Bapak Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo), sebagai satu-satunya tempat ibadah umat Buddha yang ada di Yogyakarta waktu itu.

Atas saran dan hasil diskusi antara Bapak Tjan Tjoen Gie dan Romo Among Pradjarto, yang memang merupakan teman baik dalam diskusi-diskusi spiritual, Bhikkhu Jinaputta di tempatkan di bekas kandang sapi kepunyaan Romo Among Pradjarto.

Bekas Kandang sapi kemudian di bersihkan, dan jadilah bekas kandang tersebut menjadi tempat vassa bagi Bhante jinaputa. Selama Bhante Jinaputa tinggal di tempat tersebut, maka dimulailah beberapa diskusi seputar agama Buddha. Karena kebanyakan yang datang adalah orang-orang memang mempunyai latar belakang theosofi, kejawen dan ajaran-ajaran kebatinan yang lain, maka tidaklah sulit untuk berdiskusi tentang ajaran tersebut.

Sejak itu, dimulai dari beberapa orang, mulai dikenallah Buddha Dhamma. Atas persetujuan dari pemilik rumah, Romo Among, maka kegiatan keagamaan pun mulai diadakan. Bersamaan dengan itu, delapan orang, yaitu Romo Among Pardjarto, Bpk. Drs Soeharto Djoyosoempeno, Bpk Tjan Tjoen Gie, Bpk Djoeri Soekisno, Bpk Kho Tjie Hong, Bpk Tan Hok Lay, dan Bpk Krismanto, membentuk kesepakatan untuk bersama-sama mengembangkan Buddha Dhamma. Kemampuan beliau berdelapan dalam mengabdi untuk Buddha Dhamma serta semangat yag tak kenal lelah telah melahirkan banyak kemajuan. Merekalah yang kemudian di kenal dengan “Djoyo 8” (Joyo Wolu).

Aktivitas di tempat tersebut kemudian sudah benar-benar merupakan aktivitas Vihara. Sudah tidak dikenal lagi sebagai kandang ternak. Kegiatan rutin berupa Puja Bakti setiap Rabu malam, serta Purnomosidhen (setiap bulan Purnama) dilakukan. Kegiatan tersebut tentu saja membutuhkan tempat yang lebih luas. Maka dibuatlah tempat tersebut menjadi lebih pantas, dilengkapi dengan pagar dan gapura. Tahun 1962, dinyatakan secara resmi menjadi lahirnya Vihara Buddha Karangdjati, meskipun aktivitasnya sudah dimulai sebalum tahun tersebut.

Karena semakin banykanya umat yang datang, serta perlunya penataan secara lebih tertib, maka kemudian dibetuklah sekretariat Vihara Karangdjati. Sebagai sekretaris yang pertama adalah Bpk Eko Legowo. Sekarang lebih dikenal sebagai Dr.Ir. Eko Legowo Msc. Pengajar di Universitas Brawijaya Malang, serta Ketua STAB Kertarajasa Malang. Selain kegiatan rutin berupa Puja Bakti Rabu malam dan Purnomosidhen, ditambah juga dengan puja bakti di hari-hari besar Nasional, Tahun baru Jawa (1 syuro) dan kegiatan lain.

Termasuk juga, Vihara ini pernah di daulat untuk menjadi tim pelaksana penyambutan kehadiran Bhikkhu Narada Mahathera, atau lebih dikenal dengan Bhante Narada, seorang tokoh Buddhis yang cukup dikenal di Dunia, berasal dari Sri Langka. Beliau datang ke Indonesia untuk mengajarkan agama Buddha di berbagai tempat, termasuk kemudian meletakkan batu pertama calon bangunan ‘tempat biara Buddha’ di depan Candi Mendut (Vihara Mendut saat ini). Sebelumnya, tahun 1961, perwakilan dari International Buddhist Centre, Profesor Ananda Thera, Bhikkhu dari Srilanka, juga berkunjung ke tempat tersebut.

Dalam berbagai kesempatan, umat dari Vihara Karangdjati juga terlibat aktif dalam keorganisasian Buddhis secara nasional, termasuk menjadi pelaksana Musyawarah nasional umat Buddha pada tahun 1961 yang dihadiri delegasi dari berbagai kota dan propinsi di Indonesia. Tahun 1969 dibentuk juga Organisasi Wanita Buddhis bernama Perkumpulan Wanita Buddha Jogjakata, yang saat itu diketuai oleh Ibu Ratna Dewi Suprapto.

Kegiatan terus berkembang, pada tahun 1974 Vihara Karangdjati bahkan sanggup menerbitkan Buletin yang dikenal dengan nama Darma Caraka. Di tahun tersebut, generasi yang lebh muda seperti Bapak Djoko Wintolo, Sekarang Ir Djoko Wintolo, pengajar di Fakultas Teknik UGM, sudah mulai berkiprah untuk mengantikan generasi senelumnya. Pada saat itu, sering juga dilakukan latihan Yoga bagi yang berminat.

Tahun 1960an-1970an, Vihara Karangdjati juga aktif meberikan pembinaan ke daerah lain, terutama di Temanggung. Dari Vihara inilah banyak dikirim dhammaduta-dhammaduta yang dipimpin oleh romo Among Pradjarto untuk memgajarkan Buddha Dhamma. Jangan kaget, kalau sampai sekarang, daerah seperti Kaloran, Kandangan, Jumo, Parakan, Candiroto di kabupaten Temanggung, merupakan daerah-daerah yang pemeluk Buddhanya banyak, bahkan bisa dikatakan basis umat Buddha.

Tercatat juga, Vihara Karangdjati adalah pioner dalam pendidikan agama Buddha di sekolah formal. Di mulai dari Bpk Parto, Ibu Kuntarti, Ibu Savitri, Bpk Kusman, Bpk Supriyanto dan Bpk hartono, adalah guru-guru yang mengajar disekolah formal, dari SD hingga SMA di Bhineka (jln. Kranggan). Dari sinilah Departemen Pendidikan kemudian mengangkat guru negeri. Ibu Kuntarti ditempatkan di Gunung Kidul, Bapak Supriyanto di Kulon Progo. Sekarang dari hasil pengajaran beliau, telah banyak guru-guru agama Buddha generasi di sekolah formal.

Dari Karangdjati juga, siaran mimbar agama Buddha di RRI maupun TVRI di buat. Bpk Supono Sudarmadi S.H misalnya, merupakan pengisi ceramah di TVRI pada tanggal 23 Nopember 1969, bergantian dengan pembicara yang lain. Kunjungan baik dari dalam maupun luar negeri juga masih sering datang, termasuk Acarya Dyaneasya B.Rc dari Calcuta India, tokoh sekte yogacarin.

Sebelum tahun 1980an, lingkungan sekitar Vihara masih pedesan, belum banyak kampung seperti sekarang. Lampu yang digunakan adalah lampu Petromaks. Jika malam, musik malam berupa hembusan angin, gemericik air, suara burung malam dan kodok di persawahan masih nyaring terdengar.

Di tahun 1980an, tokoh penting yang menjadi penggerak Vihara mulai menginjak usia tua, bahkan sudah mulai meninggal, termasuk tokoh-tokoh dalam Djoyo 8. puncaknya adalah meningglanya Romo Among Pradjarto, pemilik bangunan dan pemuka utama dari Vihara ini, pada tahun 1992.

Vihara kemudian memasuki masa sulit. Pertengahan 1990an adalah masa tersulit, ketika Vihara sudah kehilangan tokoh panutan utama. Di sisi lain, regenerasi tidak berjalan maksimal, karena anak-anak dan remaja tidak mendapat pendidikan agama Buddha secara formal di sekolah. Kegiatan Vihara hampir dapat dikatakan sekedar untuk bertahan hidup.

Barulah kemudian, dimulai tahun 1998, di dukung oleh bapak Supriyanto, Bapak Soetrisno dkk, Vihara mulai berbenah kembali. Kegiatan mulai dihidupkan, tidak sekedar kegiatan rutin, namun juga kegiatan yang lain. Bangunan fisik juga mulai dibenahi, untuk dapat mendukung kegiatan yang sesuai dengan konteks kekinian.

Bimbingan Dhamma dari para Bhikkhu, terutama dari Vihara Mendut, mulai dilakukan. Bimbingan tersebut bisa diadadakan berupa diskusi, Dhammaclas atau seminar, tergantung kebutuhan. Bhikkhu-Bhikkhu dari luar negeri juga banyak yang datang, seperti Bhante Dhammika Mahathera dari Australia, tokoh Bhikkhu yang cukup disegani di dunia.

Selain Puja bakti, meditasi rutin setiap Jumat juga dilakukan, Perayaan hari besar agama Buddha dilakukan lebih semarak. Perayaan yang lain, seperti tahun baru, kemerdekaan RI juga dilakukan dengan berbagai varisai kegiatan. Anak anak difasilitasi melalui sekolah minggu, remaja dan pemuda juga diwadahi dalam kegiatan kepumudaan, menambah semarak kegiatan vihara. Kepercayaan yang sempat hilang, mulai didapatkan kembali. Umat dari Vihara Karangdjati aktif dalam kepanitiaan Waisak nasional Borobudur 2006, Puja Bakti Agung Asadha 2006 di Candi mendut, Tim Karuna Yogyakarta yang menangani penyaluran bantuan untuk gempa Yogya 27 mei. Bahkan, Desember 2003, Vihara Karangdjati merupakan markas panitia World Buddhis Sangha Concil Executife Conference, yang diadakan di Jakarta, Yogyakarta dan Semarang.

Itulah secara singkat perjalanan bangunan yang sekarang dikenal dengan Vihara Karangdjati. Berbagai kegiatan yang berupa pelayanan keagamaan, pelayanan sosial kemasyarakatan, pendidikan dan fungsi yang lain dilakukan di Vihara tersebut, baik dalam skala kecil maupun intensional. Sungguh tidak terduga, jika hal itu bermula dari sebuah kandang sapi. Dari kandang sapi menuju Kiprah Dunia.