Buddha Bar dan Perlindungan Umat Beragama*
Oleh
Slamet Effendy Yusuf/ Benny Susetyo**
Oleh
Slamet Effendy Yusuf/ Benny Susetyo**
SETELAH selama dua bulan lebih beroperasi, Buddha Bar–executive lounge dan restoran yang merek dagang, desain interior, dan arsitekturnya dirancang menyerupai nama dan simbol agama Buddha–menuai protes keras dari berbagai kalangan, terutama umat Buddha di berbagai daerah.
Di Medan, sejumlah organisasi umat Buddha bahkan berniat menggugat Dinas Pariwisata DKI Jakarta ke Pengadilan, terkait pemberian izin terhadap tempat hiburan tersebut.Reaksi-reaksi tersebut sungguh dapat dipahami. Tidak sepatutnyalah kegiatan yang berorientasi bisnis (tindakan komersial) apa pun menggunakan simbol-simbol agama. Apalagi tindakan tersebut dilakukan di dalam negara Pancasila yang sangat menjunjung tinggi agama dan melindungi hak asasi warga negaranya untuk memeluk agama yang diyakininya.
WaralabaBuddha Bar merupakan sebuah tempat hiburan yang konsepnya memadukan antara bar, lounge dan restoran yang mengambil tema khusus, Buddha. Konsep ini dipopulerkan pertama kali di Paris, Prancis. Oleh pemiliknya, Raymond Visan, tema ini diterjemahkan dalam perpaduan nama, interior, dan arsitektur, serta pilihan musik dan lagu yang ”mistik dan relaxing” (yang terinspirasi oleh ajaran ”ketenangan batin dan jiwa”).
Melihat animo positif para pengunjungnya, konsep bar seperti ini selanjutnya dipasarkan ke berbagai kota di berbagai negara melalui sistem waralaba (franchise), seperti di London, New York, Dubai, Sao Paolo, Kiev, Cairo, Beirut, dan akhirnya Jakarta.
Buddha adalah nama sebuah agama di Indonesia, bahkan merupakan salah satu agama besar di dunia. Pemilihan nama sebuah agama untuk dijadikan nama merek dagang komersial sebuah bar ini tentu saja sangat melukai perasaan umat Buddha. Apalagi, pada beberapa ruangan di bar tersebut jelas mempergunakan pernak-pernik agama Buddha (rupang Buddha).
Buddha .....Di antara pintu-pintu masuk menuju Buddha Bar, terdapat dua buah rupang. Pada area utama bar tersebut terpajang patung Buddha berukuran besar yang menarik perhatian pengunjung. Pada beberapa dindingnya didominasi warna merah, tergantung lukisan-lukisan Buddha Gautama yang juga berukuran besar.
Bagi umat Buddha, ajaran Buddha dan tempat hiburan dipandang sangat bertentangan. Dan karenanya, penggunaan tema Buddha dalam konsep tempat hiburan (bar) dianggap melecehkan.
Ada banyak sekali aktivitas dalam bar yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Misalnya, Buddha mengajarkan umatnya untuk menjadi vegetarian dan tidak minum minuman beralkohol, sementara dalam Buddha Bar, pemilik menyediakan daging dan minuman beralkohol (wine) sebagai menu jualan mereka.
Bagi umat Buddha, keberadaan Buddha Bar dipandang sebagai suatu tindakan yang akan mencemarkan ajaran agama Buddha. Pencantuman nama ”Buddha” untuk menjadi nama sebuah bar dan penggunaan simbol-simbol agama Buddha dalam interior dan arsitekstur bar, jelas telah menyakiti rasa spriritual umat Buddha di Indonesia.
Sebagai sebuah negara yang juga memiliki koridor-koridor tegas terhadap agama, kesusilaan, moralitas agama, dan ketertiban umum, pemerintah perlu bertindak tegas menyikapi hal ini. Bagaimana pun, jaminan terhadap kemuliaan agama dan ajaran agama merupakan bagian tak terpisahkan dari perlindungan terhadap umat beragama di Indonesia.
Pemerintah perlu meninjau kembali izin pendirian Buddha Bar, untuk selanjutnya mengambil tindakan tegas, apakah akan menghentikan sama sekali kegiatan Buddha Bar, atau tetap mengizinkan kegiatan bar tanpa sedikit pun menggunakan identitas Buddha dalam bar tersebut, baik penggunaan nama maupun simbol agama.
Sikap tegas ini sekaligus juga untuk mencegah segala tindakan kekerasan yang mungkin akan timbul sebagai reaksi atas ketidakpuasan umat beragama yang kemuliaan agamanya terganggu. Di samping itu, ketegasan ini juga sangat penting demi tetap terpeliharanya kerukunan umat beragama di Indonesia. Persoalan ini jika tidak diselesaikan secara bijak, dikhawatirkan akan memicu lahirnya ketegangan dan kekisruhan dalam kerukunan umat beragama.
Membangun masa depan hubungan antaragama yang lebih baik, lebih terbuka, adil, dan demokratis adalah pekerjaan besar yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia pada masa kini dan pada masa mendatang. Sesungguhnya, keutuhan bangsa ini terletak pada kerukunan antarumat beragama. Jika Indonesia telah mampu mengelola masyarakatnya yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, bukan hal yang mustahil pula untuk menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut sebagai potensi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar di kemudian hari.
*Pernah dimuat diharian Pikiran Rakyat
**Slamet Effendy Yusuf adalah Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Benny Susetyo adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar