Buddha Bar dan kapitalisme*
Oleh : Ponijan Liaw
Kecewa, tersinggung dan marah. Itu barangkali yang paling pas menggambarkan situasi yang menguras energi kognisi dan afeksi satu elemen warga bangsa ini: umat Buddha karena eksistensi Buddha Bar di kawasan elit Jakarta. Kehadiran bar ini berhasil menggelorakan dan merekatkan semangat persatuan seluruh komponen Buddhis dari berbagai tradisi dan lokasi. Suatu pertanda bahwa ada sebuah peristiwa yang luar biasa tengah berlangsung di panggung kehidupan ini.
Terminologi ’Buddha’ yang mengandung multimakna sakral: tokoh panutan, yang tercerahkan, dan tujuan akhir kemana umat menuju, telah diabrasi dan dinistakan oleh kapitalisme global di kancah nasional. Kapitalisme machiavelistis semacam ini tentu tidak dapat dijadikan tradisi apalagi transaksi. Disana ada simbol-simbol suci yang dihormati dan diagungkan.
Dunia telah mencatat betapa praktik semacam ini telah mengalami badai protes yang tiada pernah akan surut. Lihat saja, bagaimana ketika di pusat bisnis Mid Town Man Heaton di New York, akan dibangun sebuah bar dengan nama Apple Mecca, yang bagi keyakinan muslim, nama ini tentu tidak asing berarti Ka’bah Macca/Mecca. Apalagi dengan desain eksterior depan yang menyerupai ka’bah. Berbagai kecaman datang menghujani sang kapitalis, Apple Computer. Perusahaan yang terkenal dengan produk iPod-nya itu dituduh telah menghina Islam dengan pendirian bar dimaksud. Apa pasalnya? Sebagaimana lazimnya bar, bar ini dapat dipastikan menyajikan minuman beralkohol, anggur (wine) maupun minuman yang memabukkan lainya. Masyarakat Muslim New York melakukan penekanan kepada pemerintah setempat untuk tidak memberi lisensi bar ini. Dan, akhirnya proyek itu tidak berjalan sebagaimana direncanakan.
Di Inggris ada sebuah contoh lain soal ini. Ada sebuah ajuan proposal untuk membuka sebuah korporasi dengan nama Yesus. Perdebatan panjang pun terjadi antara sang pemohon dan badan pencatatan hak merek dagang. Padahal tempat itu bukanlah bar yang dilarang oleh hampir semua agama dan produk yang akan dijual di toko itu bukan pula alkohol dan sejenisnya. Yang akan didagangkan disana adalah sabun, parfum, alat-alat optik, logam mulia, kulit, tekstil, garmen, dan lain-lain. Sang pemohon lisensi berdalih bahwa nama Yesus adalah nama depan banyak orang di Inggris. Buktinya, ada terdapat sedikitnya 27 nama Yesus dalam London Telephone Directory. Namun, pejabat perijinan tetap bersikukuh bahwa nama itu lebih identik dengan nabi pembawa agama ketimbang nama pribadi masyarakat awam. Apalagi komunitas Inggris, mayoritas kristen.
Alasan penolakan lainnya adalah Konvensi Paris 1883 tentang Perlindungan Kekayaan Industri yang ditandatangani juga oleh negara kerajaan itu. Dalam pasal 6 konvensi itu jelas dinyatakan bahwa sebuah proposal harus ditolak jika dianggap bertentangan dengan moralitas dan tatanan kehidupan masyarakat. Akhirnya nama Yesus sebagai korporasi komersial tidak dicatatkan di negara liberal tersebut.
Kembali ke persoalan domestik: Buddha Bar. Ada sebuah ironi fundamental yang fatal disini. Bagaimana merek dagang restoran waralaba ini bisa terdaftar di Perancis pada 26 Juli 1999, sementara negara ini menjadi tuan rumah Konvensi Paris 1883 yang memuat substansi penghormatan terhadap moral dan norma-norma kehidupan? Disini, ada cacat sejarah dan prosedur pencatatan merek global ini di negara asalnya. Melalui negara-negara anggotanya, baik yang menandatanganinya di konvensi awal mau pun yang meratifikasinya kemudian (termasuk Indonesia), perlu kiranya melakukan peninjauan kembali atas semua itu.
Dalam lingkup Indonesia, eksistensi Buddha Bar, paling sedikit bersinggungan dengan beberapa aspek: legal, moral dan spiritual. Pertama, secara legal, jelas sekali ia bertentangan dengan UU No. 15/2001 tentang Merek. Di pasal 5 (a) jelas dinyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini: bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. Artinya, apa yang boleh dibangun di luar, dengan berlindung di bawah payung waralaba, tidak serta-merta bisa didirikan disini. Apabila merek dimaksud bertentangan dengan nilai-nilai sosial-religius masyarakat lokal.
Ambil contoh, judi. Di Malaysia ada Genting Highlands, tempat resmi untuk berjudi. Apakah Indonesia bisa mengikutinya? Tentu tidak! Karena ada undang-undang yang memberikan koridor atas apa yang boleh dijadikan usaha dan tidak. Ada limitasi konstitusi disini. Jika mengacu pada logika sederhana tersebut, jelas kehadiran Buddha Bar dapat dipahami sebagai sebuah irisan tajam ke ulu hati para penganut agama ini.
Thailand, Singapura dan Malaysia saja dengan tegas telah menolak kehadiran bar macam ini. Bagaimana negeri ini bisa mengamini pendiriannya? Produk hukum berikut yang dilanggar oleh pendirian bar ini adalah kesepakatan Konvensi Paris 1883 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 15 tahun 1997. Disana dengan jelas diuraikan bahwa hal-hal yang bertentangan dengan moral dan tatanan kehidupan masyarakat tidak boleh mendapatkan ijin. Lebih jauh lagi, UU No 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, khususnya pasal 156 (a) juga mengatur hal senada. Dan, yang paling anyar dipublikasikan ke masyarakat adalah soal tempat Buddha Bar itu sendiri, yakni gedung kuno eks kantor imigrasi Belanda. Ada UU No 5 tahun 1992 tentang cagar budaya yang mengaturnya disana. Menurut pasal 19 ayat 2 (b) dijelaskan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya tidak dapat dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan. Kemudian juga dalam konteks kepariwisataan, pemanfaatan peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya menurut pasal 6 UU No 9 tahun 1990, harus memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Mengapa kedua UU ini tidak menjadi acuan legal-formal ketika perijinan pendirian bar itu akan dieksekusi? Ada kesenjangan pemahaman publik dan masyarakat soal ini. Namun, untuk poin terakhir ini (UU No 5 tahun 1992), khalayak perlu bersyukur karena KPK akan segera menelusurinya. Kedua, kontradiksi pendirian Buddha Bar bersinggungan dengan moralitas.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, bar adalah tempat minum-minum (biasanya minuman keras, seperti anggur, bir, wiski). Jelas dan terang. Mau kemana nasib anak bangsa (terutama generasi mudanya yang mencapai 80 juta jiwa) ini akan dibawa jika lisensi bar semacam itu terus diberi? Ini menjadi tugas KPK berikutnya untuk meneliti proses transaksi lisensi negeri ini yang katanya paling tidak transparan sedunia. Ketiga, secara spiritual, jelas penggunaan simbol-simbol suci keagamaan mana pun oleh para kapitalis pasti akan terus mendapatkan kecaman dan tentangan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Tengok saja bagaimana fluktuasi emosi massa mengemuka ketika simbol-simbol agama dipakai secara tidak semestinya di Denmark (kasus kartun Nabi Muhammad) dan cover Tempo beberapa waktu lalu tentang ’The Last Supper’ itu muncul. Deretan kasus lainnya: cover album Iwan Fals ’Manusia 1/2 Dewa’ harus berurusan dengan umat Hindu, termasuk juga cover buku Supernova, Dewi Lestari yang memuat simbol/huruf AUM yang merupakan simbol suci umat Bali itu. Termasuk juga suatu kali desain poster film Amerika ”Hollywood Buddha” dengan seorang pria duduk di atas pundak patung Buddha dengan alat vitalnya menyentuh tengkuk Buddha. Reaksi keras dari dunia pun bertubi-tubi menghampiri.
Sejarah telah mengajarkan kepada kita, berhati-hatilah dengan penggunaan simbol keagamaan. Simbol tidak tepat menimbulkan kontroversi yang hanya menguras energi kognisi dan afeksi sehingga menumpulkan simpul-simpul humanitas alami. Kondisi ini, jika tidak segera diatasi akan menjadi bom waktu dalam jangka panjang. Untuk itu, alangkah bijaksana jika sederet peraturan (pusat & daerah) dan undang-undang selalu dijadikan acuan sebelum sebuah lisensi dieksekusi. Sistem komputerisasi peraturan harus mampu mengakses aturan yang menjadi syarat sebuah lisensi bisa dieksekusi. Hal ini bukan hanya untuk menjaga wibawa lembaga melainkan juga memberikan ketentraman lahir dan batin bagi komunitas yang akan terikat olehnya.
Sebagai penutup, kiranya hasil konferensi agama-agama monoteis yang disponsori Arab Saudi di Madrid Spanyol, Juli 2008 lalu perlu didukung. Konferensi itu menghasilkan sebuah komunike bersama yang isinya antara lain menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-banga (PBB) agar segera membuat kesepakatan internasional yang menyatakan bahwa menghina atau melecehkan agama lain merupakan tindakan kriminal, serta kesepakatan tentang upaya melawan terorisme. Lebih lanjut, konferensi yang dihadiri oleh 200 peserta dari berbagai latar belakang agama itu memutuskan perlu adanya kesepahaman tentang pentingnya saling menghormati setiap agama dan simbol-simbol keagamaan, dan bagi siapa pun yang melanggarnya dianggap telah melakukan tindakan kriminal. Sebuah keputusan bajik dan bijak. Semoga dengan mengedepankan hati nurani, para penggiat di PBB akan segera mengadopsi nilai-nilai intrinsik mulia itu sehingga tidak akan ada lagi praktik kapitalisme barbar di muka bumi ini. Semoga
*dimuat di Harian Kontan, tanggal 10 Maret 2009.